KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari
Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding
Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.
Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang
diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy
dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih
keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal
sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas;
cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di
belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai
Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori
meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau
mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding
Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3
hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra
Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah
Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai
Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam,
tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki
penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara
Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan
timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai
Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai
Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai
pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada
tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk
melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana
sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai
Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah
pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan
pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah,
sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif,
ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri
tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang
diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa
muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah
sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan
mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti
organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka
jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura
dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori
terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih
dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke
suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun
seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut
keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu
tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak
aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan
pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan
akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din
karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang
diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering
disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai
Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman
pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”
Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan
kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif
muda, 30 tahun.
Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyah
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan
Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah
kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai
Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada
Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi.
Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan
Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah
kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai
Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada
Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al
Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai
Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso –
Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng
Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen
– Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al
Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain –
Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib
Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al
Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As
Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi
Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai
tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa
ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta
Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas
penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid
ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli
Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai
mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto.
Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan
kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota
metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai
Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai
Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan
wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah
yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori
memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa
tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang
berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia
beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang
tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu
pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya.
“Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan
diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok
Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok
tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan
lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah
induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang
cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang
moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya
yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada
masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke
kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya
tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah
melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi
masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan
banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori
tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok
yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia
sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya
dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak
tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna
binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias
berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada
malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan
disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun
militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara
mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai
pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada
tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk
melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana
sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai
Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah
pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan
pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah,
sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif,
ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara,
majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni
keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah
menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin
menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit
luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini
diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di
Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya
yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia
dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia
bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan
kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun
seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut
keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu
tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti
kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain
Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan
juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori
mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan
baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang
tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni
(ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan
ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri
juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata
“seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali
itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada
anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30
tahun.
Sumber :
http://blog.its.ac.id/syafii/2009/08/30/mengenang-kh-ahmad-asrori-ustman-al-ishaqy-sang-mursyid-thoriqoh-qodiriyah-naqsabandiyyah
Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al-Ishaqy RA Wafat
Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al-Ishaqy RA wafat pada hari Selasa, 26
Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB.
Berita Wafatnya Beliau Dari suaramerdeka.com 19 Agustus 2009 :
Perginya Ulama Apolitis
Pentakziah mengantarkan jenazah KH Asrori ke peristirahatan terakhir
Keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) berduka. Salah satu ulamanya yang
bergiat di bidang thoriqoh, KH Asrori Al Ishaqi, Selasa (18/8) dinihari
meninggal dunia. Dia dikenal sebagai pemimpin Pondok Assalafi Al Fithrah, di
Jalan Kedinding Surabaya Utara.
”Beliau kiai karismatik dan istikamah menjaga amalan warga NU di bidang
tasawwuf dengan bergiat di thoriqoh,” kata Rois Syuriah PWNU Jatim, KH
Miftakhul Akhyar di Surabaya, kemarin.
Meninggalnya Kiai Asrori sungguh mengagetkan,mengingat usia kiai thoriqoh
ini belumlah terlalu tua. Yang bersangkutan dipanggil Yang Maha Kuasa di usia
58 tahun. Kepergiaannya untuk menghadap Sang Khalik membuat ribuan jamaahnya merasakan
duka mendalam dan meneteskan air mata. Saat dilangsungkan prosesi pemakaman di
komplek pondoknya, umat Islam menyemut dan melantunkan kalimah thoyyibah.
Tak ketinggalan karangan duka cita dari banyak tokoh nasional, Jatim, dan
Surabaya dikirimkan ke rumah duka. Di antaranya karangan bunga dari Presiden
SBY, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen
Pol Anton Bahrul Alam, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, Wakil Wali Kota
Surabaya Arief Afandi, dan pejabat lainnya. Gubernur Soekarwo juga bertakziah
ke rumah duka di kawasan Kedinding Surabaya.
Siapa KH Asrori Al Ishaqi? Yang bersangkutan dikenal sebagai kiai NU yang
istikomah bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terkait peran kiai melalui
kanal thoriqoh. Kiai Asrori tak tergerus dalam gerakan kemasyarakatan di ranah
politik praktis sebelum maupun pascareformasi.
Jamaah thoriqoh terus dibina dan digerakkan ke tataran umat dalam konteks
memberikan bekal moral spiritual kepada umat Muhammad SAW. ”Fatwa dan pandangannya
sangat dihormati serta dipatuhi umat. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau.
Dunia thoriqoh terus digeluti dan dijalankan dengan istikomah. Itu salah satu
amalan penting NU dan menjadi pembeda NU dengan ormas Islam lainnya,” tambah
Kiai Miftakhul.
Anak KH Utsman
Kiai Asrori adalah anak KH Utsman. Aktivitas thoriqoh dijalaninya
sepeninggal ayahnya yang juga dikenal sebagai mursyid thoriqoh. Thoriqoh yang
dipimpin Kiai Asrori tak terkait dengan kekuatan politik mana pun.
Seperti ditulis dalam disertasi (S3) Machmud Sujuthi (mantan Kepala Kanwil
Depag Jatim) yang diterbitkan tahun 2001, pada buku berjudul ”Politik
Tharekat”, disebutkan bahwa thoriqoh yang berpusat di Kedinding Surabaya di
bawah pimpinan KH Utsman tak berafiliasi dengan kekuatan politik mana pun.
Dalam buku Machmud Sujuthi itu dikatakan bahwa setelah KH Mustain Romli
menyatakan merapat dan mendukung Golkar pascapemilu 1971, terjadi pembelahan
dunia thoriqoh di lingkungan NU. Ada jamaah thoriqoh Rejoso yang berpusat di
Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang, dengan tokoh utama KH Mustain Romli dan dekat
dengan Golkar.
Di sisi lain, ada thoriqoh Cukir yang berpusat di Pondok Tebuireng Jombang
di bawah pimpinan KH Adlan Ali yang lebih dekat kepada Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Thoriqoh Kedinding—istilah di mana pondok KH Utsman dan KH
Asrori berlokasi—berada di antara 2 titik thoriqoh yang berbau politik itu.
Jamaah Kiai Asrori itu netral secara politik. Tak ada hubungan kultural dan
struktural dengan partai mana pun.
”Amalan thoriqoh Kiai Asrori itu sanad-nya sampai Syech Abdul Qodir
Jaelani,” jelas Kiai Miftakhul.
Meninggalnya Kiai Asrori merupakan kehilangan besar bagi jamaah thoriqoh di
Indonesia dan mancanegara. Selain 1.800 santri yang menetap di Pondok Al
Fithrah di Kedinding, hakikatnya Kiai Asrori memiliki jutaan umat dan jamaah
setia di Indonesia dan banyak negara lain. Jamaah yang dipimpin Kiai Asrori
tersebar hingga ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong,
Australia, dan banyak negara lain.
Pada acara pemakaman kemarin, banyak di antara jamaah hanyut dalam suasana
duka. Mereka melantunkan doa, tahlil, surat yasin, dan bacaan thoyyibah di
masjid areal ponpes. Maklum, Kiai Asrori dikenal sebagai pimpinan Thoriqoh
Qodiriyyah Wannaqsabandiyah Al Utsmaniyah.
Direktur Pendidikan Pondok Al Fithrah, Wisnubroto menyatakan, Kiai Asrori
meninggalkan seorang istri, Hj Sulistyowati, dan 5 anak, yakni Siera Annadia,
Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien, dan Siela Assabarina.
Kiai Asrori meninggal sekitar pukul 02.00. Sebelumnya, sejak 29 Juli sampai
16 Agustus 2009, sempat menjalani perawatan medis di Graha Amerta RSU dr
Soetomo Surabaya. Kiai Asrori mengidap kanker dan komplikasi penyakit lainnya.
Di usia berapa Kiai Asrori meninggal dunia? Berdasar pengakuan salah
seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, Kiai Asrori memiliki 3 paspor
dengan tanggal lahir berbeda. Tapi, diperkirakan yang bersangkutan lahir pada
17 Agustus 1951.(G14-62)
Berita Wafatnya Beliau Dari suarasurabaya.net 18 Agustus 2009, 09:24:55 :
KH. ASRORI Pengasuh Ponpes Al-Fitrah Wafat
KH AHMAD ASRORI AL ISHAQI Pengasuh Ponpes AlFitrah bersama SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO saat berkunjung ke pesantrennya pada 28 Januari 2009 lalu
KH AHMAD ASRORI AL ISHAQI Pengasuh Ponpes Al Fitrah di Jl. Kedinding Lor,
Selasa (18/08) sekitar pukul 02.00 WIB wafat karena sakit. Sejak pagi tadi
ribuan warga dari dalam dan luar Surabaya datang melayat, Mereka sudah mulai
berdatangan di kawasan pondok pesantren Al-Fitrah.
Jenazah Kyai ASRORI dimakamkan sebelum waktu sholat Dhuhur di lingkungan
Pondok Pesantren Kedinding Lor. Pemakaman Kyai Asrori dihadiri Muspida, KH
ABDUR RASYID pemimpin pesantren, WISNU BROTO Direktur Pendidikan Pondok
Pesantren dan Kombespol RONNIE F SOMPIE Kapolwiltabes Surabaya.
Kompol RAKIDI Kabag Bina Mitra Polres Surabaya Timur waktu dikonfirmasi
Suara Surabaya menyatakan siap mengamankan pemakaman Kyai ASRORI dengan
menurunkan 1 kompi pasukan. Lalu lintas di sekitar Jl. Kedinding Lor, Pogot,
dan Tanah Merah juga akan diamankan untuk proses pemakaman serta lokasi parkir
tamu undangan.(gk/edy)
Berita Wafatnya Beliau Dari detik.com Selasa, 18/08/2009 08:28 WIB :
Pengasuh Ponpes Al Fithrah Berpulang
Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di Kedinding Lor KH Ahmad
Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pukul 02.20 WIB, Selasa (18/8/2009) dini hari
tadi.
KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia karena sakit komplikasi yang
dideritanya selama ini. Sebelum meninggal, dia sempat menjalani operasi dan
menjalani check up di Singapura.
"Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan
maupun penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS
Lafayat Malang," kata salah satu kerabat Djudjuk M Usdek Kariono kepada
wartawan di lokasi.
Mendengar kabar jika KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia, ribuan
pelayat langsung mendatangi ponpes yang tidak jauh dari Jembatan Suramadu.
Sejak pagi kawasan itu dipenuhi oleh pelayat. Ini berpengaruh pada akses masuk
ke jalan itu. Kemacetan pun terasa di Jalan Kenjeran, Rangkah hingga ke Jalan
Kedung Cowek. Polisi lalu lintas Surabaya Timur terlihat sibuk mengatur arus
lalu lintas.(wln/fat)
Berita Wafatnya Beliau Dari detik.com Selasa, 18/08/2009 11:11 WIB :
Pemakaman KH Asrori Diwarnai Perebutan Keranda
Petakziyah berebut keranda KH Asrori
Prosesi pemakaman Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di
Kedinding Lor KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi diwarnai adu dorong santri dan
petakziyah. Mereka berebut agar bisa menyentuh keranda jenazah kiai kharimastik
itu.
Para panitia prosesi pemakaman kewalahan menahan aksi saling dorong antara
santri dan para pelayat. Panitia meminta kepada santri dan petakziyah untuk
kembali duduk sambil membacakan zikir dan tahlil.
Usai disalati, jenazah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi dimakamkan di kompleks
Pondok Pesantren Al Fithrah pada pukul 10.30 WIB, Selasa (18/8/2009).
Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pada pukul 02.20 WIB karena sakit
komplikasi yang dideritanya selama ini. Dia sempat dioperasi dan menjalani
check up di Singapura sebelum meninggal dunia.
"Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan
maupun penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS
Lafayat Malang," kata salah satu kerabat Djudjuk M Usdek Kariono kepada
wartawan.
Bagi para santri dan petakziyah yang tidak bisa melihat dari dekat proses
pemakaman KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi, pihak ponpes menyiapkan beberapa televisi
yang ditempatkan di beberapa titik di kompleks ponpes itu.
Sementara Jalan Kedinding Lor ditutup total. Pasalnya jalan itu dipadati
oleh para pelayat maupun kendaraan baik roda dua dan roda empat. Bahkan di
Jalan Kedung Cowek atau jalan akses menuju Jembatan Suramadu digunakan sebagai
parkir kendaraan pelayat.(wln/fat)
Foto-foto pemakaman Beliau dari detik.com :
Mendengar kabar jika KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia, ribuan
pelayat langsung mendatangi ponpes yang tidak jauh dari Jembatan Suramadu,
Surabaya.
Presiden SBY tampak mengirimkan karangan bungan tanda duka cita untuk
almarhum KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi.
Beberapa karangan bunga lainnya berasal dari Gubernur Jawa Timur,
Sekretaris Pemkot Surabaya dan para pengasuh pondok pesantren se Jawa Timur.
Semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya dan
memberikan tempat kepada beliau bersama-sama dengan Rasulullah SAW, Syaikh
Abdul Qodir Al-Jailany, dan para kekasih Allah lainnya. Dan bagi para murid dan
penderek beliau semoga kelak juga berkumpul bersama beliau (Yauma Nad'uu kullu
unaasin bi imaamihi)....(Amin Amin Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Untuk Hadhrotus Syaikh Ahmad
Asrori Al-Ishaqy RA, Al-Faatihah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar